Saturday, January 17, 2009

Berharap Dibebaskan dari Mahluk Gaib

Saturday, 17 January 2009

Oh….puang penrekakka kasi sininna bijabijakku pappitangngi kasi’na Mudah-mudahan muluttukan manang lo’mai,muluttuki manangi na mu pabiringi….

UNGKAPAN itulah yang keluar dari mulut sejumlah kerabat korban KM Teratai Prima yang berharap dengan sesajen yang mereka persembahkan ke laut Majene dapat mengembalikan keluarga mereka yang saat ini belum diketahui keadaannya.

Cuaca pagi Kota Majene terlihat mendung,sejumlah ruas jalan terlihat becek setelah hujan mengguyur sejak pukul 05.00 Wita, kemarin. Di tenda darurat Posko KM Teratai Prima di Majene terlihat dan terdengar gaduh, sejumlah kerabat korban sedang menyiapkan sesajen untuk ritual persembahan ke laut Majene. Suasana posko semakin ramai. Setelah sesajen ritual selesai dipersiapkan, serentak mereka berdiri dari tempat duduknya menuju ke dermaga Majene. Rintik hujan seakan menambah khidmat suasana, pun menebalkan kesedihan.

Langkah pelan para keluarga korban yang sejak beberapa hari lalu menunggu dalam ketidakpastian menuju bibir pantai. Di depan sesajen berupa telur yang terbungkus daun sirih itu, Nursiah ,45, berdoa dengan isak tangis yang tak tertahankan.Lafal doa dalam bahasa Bugis meluncur terbata- bata dari bibir tergetar. ”Oh….Puang penrekakka kasi sininna bijabijakku pappitangngi kasi’na.(Oh..Tuhan kembalikan lah semua keluargaku dan perlihatkan lah),” lafal doa Nursia bercampur dengan tetesan air matanya.

Kegiatan tersebut mengundang perhatian sejumlah warga setempat untuk menyaksikan ritual larung lepas ayam dan telur terbungkus daun sirih itu, beberapa ibu terlihat berusaha menahan isak tangis. Meski ditahan, tetapi ingatan mereka terhadap keluarga yang hingga kini belum diketahui kabarnya terlalu sulit untuk dihilangkan dalam memori dalam psikologi masa kesedihan seperti saat itu.Tangis itupun pecah. Buliran bening menetes di pipi Nursiah yang terlihat mulai keriput.

Sebelum telur yang terbungkus daun sirih tersebut dilepas ke laut,sejumlah kerabat memegangnya dengan penuhharapanmudah- mudahan dengan telur bersama daun sirih tersebut dapat mengembalikan keluarga mereka yang belum ditemukan. ”Pasalamaki tori puang, tata rimami”, (Selamatkan lah keluarga kami Tuhan,terimalah),” itulah ucapan sejumlah kerabat saat melepas telur tersebut. Telur yang terbungkus daun sirih itu di lepas ke laut. Selanjutnya,ayam yang akan dipotong sebelumnya dicium oleh sejumlah keluarga dengan harapan.

Kembalikan keluarga kami. Setelah menciumi ayam jantan tersebut, ayam dipotong. Acara penyembelihan ayam dilakukan di laut agar darah ayam tersebut juga menyatu dengan air laut begitu juga dengan ayam, langsung dibuang ke laut sebagai persembahan terakhir dari acara ritual tersebut.

Sambil mengusap kepala ayam tersebut Salmiah ,41, berucap ”Mudah-mudahan muluttukan manang lo’mai, muluttuki manangi na mu pabiringi” (mudah-mudahan kau terbangkan ke pada kami, dan membawanya ke pinggir pantai).” ”Ini kami lakukan karena kami memiliki kepercayaan nenek moyang memberikan persembahankepadapenjaga laut agar dapat membebaskan keluarga kami yang hingga saat ini belum dapat ditemukan,” kata Nursia ,48,kepada sejumlah wartawan seusai menggelar ritual tersebut.

Hal tersebut juga dilakukan karena mendapat restu dari dukun yang menyatakan bahwa keluarga mereka disembunyikan oleh nenek moyang terdahulu. ”Makanya kami berinisiatif untuk menggelar ritual ini, karena kami juga masih menyakini hal-hal tersebut hanya menginginkan mereka ditemukan dalam keadaan apa pun,” katanya dengan menahan isak tangis. Kepercayaan tersebut juga di benarkan oleh nelayan setempat Basri, 50. Dia mengatakan, ritual sesembahan yang ditujukan kepada penjaga laut rutin mereka jika ingin berlayar mencari ikan di laut.

”Memang semestinya kita harus melakukan ritual seperti itu untuk memberikan penghormatan kepada mereka yang berada di laut karena mereka juga perlu dihormati dan dihargai, jangan sampai kita mendapat celaka di tengah laut,” katanya dengan nada meyakinkan. Menurut dia, semua nelayan yang ada di Kabupaten Majene, khususnya warga Mandar yang ingin berlayar, mereka tidak akan berlayar apabila belum memberikan penghormatan kepada penghuni laut dengan menaruh sesajen ke laut.

”Kita harus lakukan hal itu, apalagi kalau kita ingin melintas di perairan Majene atau yang lebih dikenal Tanjung Batu Roro karena pasti kita akan mendapat musibah entah itu tenggelam atau kapal tidak bisa jalan,” jelasnya. Hal itu sudah menjadi rutinitas bagi nelayan Mandar karena keyakinan mereka tentang hal seperti itu masih sangat kuat.

Basri sendiri tidak akan pernah berlayar apabila tidak mempersembahkan sesajen seperti telur atau menyembelih ayam begitu juga dengan darah ayam tersebut karena itulah yang disebut maccera yakni mempersembahkan darah ayam. (abdullah nicolha)

No comments: