Monday, May 3, 2010

PT EEES Belum Pastikan Pasokan Listrik

Tuesday, 04 May 2010
MAKASSAR (SI) – PT Energy Equity Epic Sengkang (EEES) belum memberikan kepastian pengoperasian mesin pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) Sengkang.

Operator sumur gas Sengkang ini, baru bisa mengoperasikan PLTG jika mendapatkan izin dari badan pengatur minyak bumi dan gas (BP-Migas), serta jaminan keamanan dari pemerintah terkait dengan keberadaan pekerja asing. ”Sebagai investor, tentunya kami butuh iklim investasi yang kondusif dan jika itu terpenuhi, EEES siap kembali mengoperasikan PLTG Sengkang.

Namun,itu pun setelah dikoordinasikan dengan BP Migas selaku pengawas,” ujar Presiden Direktur Energy Equity Epic Sengkang Andi Riyanto kepada Seputar Indonesia (SI) seusai melakukan pertemuan dengan Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo di rumah jabatan Gubernur,kemarin.

Pertemuan tersebut juga dihadiri Direktur Operasional PT EEES John Anderson serta sejumlah pejabat dari PLN Sultan Batara. Selain itu,turut hadir pula Sekprov Sulsel A Muallim,Asisten Bidang Pemerintahan Andi Herry Iskandar, serta sejumlah pimpinan SKPD.

Dalam pertemuan tersebut, baik pemerintah provinsi (Pemprov) Sulsel maupun PT EEES menyepakati untuk segera mengoperasikan kembali PLTG Sengkang dalam waktu dekat.Namun,Pemprov diminta untuk menyediakan jaminan keamanan kepada 15 orang pekerja yang sebelumnya dievakuasi saat pendudukan lahan di Desa Gilireng oleh masyarakat.

”Kami sepakat untuk segera mengatasi masalah.Tugas EEES adalah segera mengoperasikan PLTG dan menyalurkan listrik,sementara tugas Gubernur adalah membuat masyarakat tidak melakukan reaksi yang merusak iklim investasi,”jelas Syahrul Yasin Limpo kemarin. Terkait tuntutan dana bagi hasil Migas,Syahrul mengatakan, desakan tersebut akan dibicarakan lebih lanjut bersama Bupati, BP Migas, dan Kementerian Keuangan.

Menurutnya, agenda tersebut akan dibahas lebih lanjut untuk memenuhi tuntutan masyarakat tanpa mengabaikan keberadaan investasi di Sulsel. ”Paling penting, bagaimana PLTG Sengkang bisa beroperasi dalam waktu dekat. Harapannya sih dalam waktu satu atau dua hari agar pemadaman tidak berlanjut,” tandasnya.

Meski demikian, mantan Bupati Gowa ini mengatakan, untuk mengoperasikan PLTG Sengkang butuh proses. Penghentian sementara oleh operator dalam hal ini PT EEES dikarenakan aksi pendudukan oleh masyarakat dinilai sudah mengancam keselamatan pekerja. ”Jaminan keamanan sudah diberikan, Bupati sudah dikontak agar mengendalikan situasi dan pembicaraan lebih jauh, terutama tuntutan akan dibicarakan dalam waktu dekat,”tambahnya.

Sementara itu, Direktur PT EEES Andi Riyanto menambahkan, dalam pengoperasian PLTG Sengkang, pihaknya berpedoman pada kontrak karya yang berlaku sejak 1995 dan berakhir 2022 mendatang.

Menurutnya, kontrak tersebut ditandatangani dengan Pemerintah Pusat sehingga pihaknya tidak terlibat dalam dana bagi hasil Migas seperti yang dituntut masyarakat. ”Secara teknis tidak ada masalah di PLTG Sengkang. Namun, operatornya terpaksa dievakuasi ke Makassar karena suasana di sana tidak kondusif,”jelasnya.

Menurut dia, untuk mengoperasikan pembangkit tersebut tidak membutuhkan waktu yang banyak. Pasalnya, operator sisa kembali didrop ke Sengkang untuk menjalankan mesin. Namun, ia berharap, pemerintah konsisten dengan jaminan keamanan yang dijanjikan. Terkait kerugian yang dialami PT EEES sejak penghentian operasi 1 Mei lalu, Andi Riyanto mengaku belum menghitung jumlah kerugian yang diderita dalam empat hari terakhir.

Kontrak Kerja Sama Diminta Dikaji

Sementara itu, jelang pertemuan kembali antara pihak BP Migas dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wajo yang disepakati digelar Kamis (6/5),Wajo Anti Corruption Committee (WACC) meminta agar Pemerintah Pusat mengkaji ulang bentuk kontrak kerja sama (KKS).

Alasannya, sektor pertambangan migas dinilai cenderung menguntungkan negara tanpa melihat Pemkab dan masyarakat setempat.“Pola bagi hasil production sharing contract(PSC) yang saat ini diterapkan dalam KKS migas hanya menguntungkan para perusahaan migas asing,”tegas Anggota Badan Pekerja Yayasan WACC Kabupaten Wajo M Sabri F kepada Seputar Indonesia(SI),kemarin.

Menurutnya, dalam ketentuan UU Migas Nomor 22/2001, dimungkinkan bagi pemerintah untuk membuka seluas-luasnya sistem kontrak dalam pengelolaan sumber daya migas. “KKS dengan pola bagi hasil, bukan satu-satunya bentuk kontrak yang dapat diterapkan dalam sektor pertambangan migas,”ketus dia.

Selama model kontrak kerja sama tidak bertentangan dengan UU Migas Nomor 22/2001,tambahnya, tidak menutup kemungkinan cara lain bisa diterapkan. Pola bagi hasil tersebut dengan cara PSC, hanya merupakan salah satu bentuk kerja sama di sektor migas.

Sabri menegaskan, dari penelusuran WACC, sistem bagi hasil dengan sistem royalti akan mengalihkan hak milik dari negara kepada perusahaan yang memproduksi migas, sedangkan kelemahan dalam sistem bagi hasil yang diterapkan di Sengkang selama ini terletak pada pengawasan dan kontrol atas cost recovery (biaya perbaikan).

Penerapan sistem penggantian biaya eksplorasi dan eksploitasi melalui cost recovery selalu menimbulkan masalah. Banyak hal yang tidak jelas dalam pembayaran dengan cara tersebut.

“Saya prediksi pertemuan pada tanggal 6 Mei akan mengalami kebuntuan atau deadlock. Pemerintah Pusat dalam hal ini BP Migas tidak akan mungkin menerapkan pembayaran perusahaan dengan sistem royalti, di sisi lain Pemerintah Daerah Wajo tetap ngotot dengan sistem royalti,” ungkap aktivis anti korupsi Wajo ini.

Pihaknya berharap,persoalan bagi hasil tersebut tidak mengorbankan kepentingan dan kebutuhan dasar rakyat,jika listrik padam dalam satu jam saja, rakyat akan mengalami kerugian yang sangat besar, roda perekonomian macet, dampaknya juga akan kembali kepada pemerintah.“Jadi, perlu dipikirkan baik-baik sebelum bertindak dengan atas nama rakyat,”tandasnya. (abriandi/abdullah nicolha)

No comments: