Monday, September 8, 2008

Agrobisnis Jadi Landasan Utama

Sunday, 07 September 2008
Laporan Pengentasan Kemiskinan
By: Abdullah Nicolha

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu Utara,Sulawesi Selatan (Sulsel) fokus di bidang pertanian dalam memberantas kemiskinan.

Masalah kemiskinan memang selalu menjadi patokan sebagian besar warga untuk menilai keberhasilan pemerintah dalam memimpin suatu daerah.Peningkatan jumlah masyarakat miskin di setiap daerah biasanya dipengaruhi banyak faktor, termasuk di kota yang baru berusia 9 tahun ini. Jumlah penduduk di Kabupaten Luwu Utara pada 2006 berdasarkan data sensus penduduk (SP) adalah 290.168 jiwa.

Jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan sekitar 89.004 jiwa atau 30,62%. Dari data yang ada, tidak ditemukan adanya peningkatan ataupun penurunan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan karena berdasarkan data rekapitulasi kartu kompensasi BBM (KKB) dan data penerima bantuan langsung tunai (BLT) tidak ada perbedaan signifikan.

“Kami belum mengetahui secara pasti apakah ada penurunan atau peningkatan penduduk miskin, sebab pendataan baru akan dimulai pada Oktober mendatang,” kata Kepala Seksi Usaha Ekonomi Masyarakat Teknologi Tepat Guna (UEMTTG) Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Luwu Utara Misbah kepada SINDO belum lama ini. Angka kemiskinan itu dinilai sangat tinggi dari apa yang telah diperkirakan pemkab setempat. Hal itu disebabkan kenaikan harga barang konsumtif akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Apabila dilihat dari tipologi wilayah permukimannya, ada beberapa daerah yang menjadi konsentrasi yaitu, di pelosok desa, umumnya petani di sana tidak memiliki lahan dan hanya menjadi pekerja. Kelompok kedua adalah daerah di pesisir daerah kabupaten. Umumnya, mereka yang tinggal di pesisir bekerja sebagai nelayan tradisional, pengelola tambak, dan buruh tambak.

Kelompok ketiga adalah di sekitar pusat kegiatan ekonomi seperti pasar. Mereka yang tinggal di sekitar pasar biasanya para pedagang kecil, pedagang kaki lima (PKL), dan buruh. Adapun kelompok keempat adalah di wilayah pegunungan. Masyarakat di pegunungan sulit mendapatkan akses pelayanan dasar karena masih terisolasi, misalnya petani yang memiliki lahan cukup tetapi sulit untuk memasarkan produksinya dan kurangnya sumber daya manusia.

Di Luwu Utara, terdapat tiga wilayah kecamatan yang masih tergolong terisolasi, di antaranya Kecamatan Seko, Rampi, dan Limbong. Tiga kecamatan ini hanya bisa dilalui dengan memakai sepeda motor (ojek) dengan harga yang relatif mahal dibanding dengan daerah lain, yakni berkisar antara Rp400.000–Rp500.000 sekali jalan.

Di daerah tersebut bahkan masih menggunakan sistem barter dan petani masih menggunakan kerbau untuk menggarap sawah mereka. Dalam merealisasikan pembangunan, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara berpedoman pada tujuh dimensi yang ingin dicapai, yaitu religius, maju, sejahtera, dan mandiri di atas landasan agrobisnis dan ekonomi kerakyatan.

Dari kebijakan tersebut, pemerintah setempat memiliki strategi-strategi dasar untuk menanggulangi kemiskinan yang dihadapi masyarakat. Peningkatan kualitas pertanian, salah satunya dengan menggenjot potensi kakao yang ada di daerah tersebut serta mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin terhadap akses-akses seperti pendidikan, kesehatan, kualitas lingkungan hidup, dan pasokan air bersih. Tujuannya agar masyarakat tidak terbebani lagi dengan tingginya biaya kebutuhan dasar tersebut.

Kepala Sub Bidang Data dan Pelaporan Badan Pendapatan Pengelolaan Daerah (Bappeda) Kabupaten Luwu Utara Muhtar Jaya mengatakan, pada 2008, Rp24,7 miliar dialokasikan untuk sektor pertanian. Melihat pengalokasian dana yang ada saat ini,Pemerintah Kabupaten Luwu Utara dapat dipastikan telah berupaya melakukan pemberantasan kemiskinan dengan mengurangi beban masyarakat, yakni dengan pemberian alat, bibit, dan pupuk bersubsidi.

“ Jadi,itu merupakan tahapan penanganan parsial dan jujur telah terjadi penurunan angka kemiskinan dengan melihat banyaknya masyarakat yang sudah beralih profesi menjadi pegawai,” ungkapnya. Dalam pengentasan kemiskinan, Bupati Luwu Utara HM Luthfi A Mutty mengangkat komoditas andalan pertanian di daerah tersebut, yakni kakao,melalui program pencanangan Luwu Utara sebagai penghasil kakao terbaik nasional pada 2010.

Hal ini karena 80% penduduk Luwu Utara bertumpu di sektor pertanian Luthfi A Mutty optimistis target produksi kakao bakal menjadi yang terbaik di tingkat nasional dalam kurun waktu dua tahun mendatang. “Kemungkinan memang tidak berhasil, tapi satu hal yang perlu kita tangkap,hingga 2007, pemerintah pusat dan provinsi belum pernah berbicara tentang kakao, bahkan presiden,wakil presiden, dan gubernur. Setelah saya gencar bicara soal ini, barulah muncul (banyak yang membicarakan soal pertanian kakao),”paparnya.

Program tersebut kini mendapat dukungan dan perhatian dari pemerintah pusat dan provinsi. Pada 2009, sebanyak 14.000 hektare sawah akan direhabilitasi untuk pertanian kakao. “Sebelum ada bantuan dari pusat, mungkin masih pesimistis, tetapi dengan turun tangannya pemerintah pusat dan provinsi, saya tambah yakin dan optimistis program ini akan terwujud,” ungkapnya.

Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Sulsel kemudian mengikutkan Pemkab Luwu Utara menjadi peserta konferensi kakao terkait visi operasional Luwu Utara menjadikan produsen kakao terbaik nasional. Berbagai upaya yang telah dilakukan Pemkab Luwu Utara dalam gerakan Rehabilitasi Massal Menuju Tanaman Kakao Berkualitas.

Untuk program “Menuju Kakao Terbaik Nasional 2010” diperlukan upaya rehabilitasi total dari hulu sampai ke hilir, antara lain dengan penanggulangan bencana alam. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Luwu Utara HM Nur Husain mengaku tidak mengharapkan pada tingkat kuantitas, melainkan kualitas yang memadai.Atas dasar itu, dia berharap agar semua pihak ikut menyukseskan target tersebut.

Ditjen Perkebunan juga telah melakukan verifikasi sekaligus membuka lahan 400 hektare untuk demplot kakao yang ditempatkan di Desa Tarobok, Kecamatan Sabbang (100 Ha); Desa Pengkendekan, Kecamatan Sabbang (100 Ha); Desa Poreang, Kecamatan Bone-Bone (100 Ha); dan Desa Ujung Mattajang, Kecamatan Mappedeceng (100 Ha). (abdullah nicolha)

No comments: